Senin, 23 Juli 2012

PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS RUMAH SAKIT October 19, 2009



Oleh: AHMAD JAIS 
http://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/10/19/pengelolaan-limbah-medis-rumah-sakit/
  1. Pendahuluan
Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya di kota-kota besar semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah rumah sakit tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid, kholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999).
SAMPAH dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
-         Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.
-         Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut: Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi. Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik.Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat- obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat- obatan.
-         Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
-         Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida.
(Arifin. M, 2008 ; (online).

Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, pH, mikrobiologik, dan lain-lain. (Arifin. M, 2008 ; (online).
Pelayanan kesehatan dikembangkan dengan terus mendorong peranserta aktif masyarakat termasuk dunia usaha. Usaha perbaikan kesehatan masyarakat terus dikembangkan antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya pencemaran dari manapun juga perlu diberikan perhatian khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan limbah rumah sakit yang merupakan bagian dari penyehatan lingkungan dirumah sakit juga mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit infeksi nosoknominal dilingkungan rumah sakit, perlu diupayakan bersama oleh unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit. Unsur-unsur tersebut meliputi antara lain sebagai berikut :
-         Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit
-         Penanggung jasa pelayanan rumah sakit
-         Para ahli pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran
-         Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana fasilitas yang diperlukan.
(Depkes RI, 2002)
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan dilingkungan rumah sakit.
Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan  terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk  pembangunan insilasi pengelolaan limbah rumah sakit melalui  anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan  permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. (Depkes RI, 1992).

  1. A.     Permasalahan
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah (Limbah Padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan  serta penularan penyakit.
Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,5-0,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam kategori untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminasi antrauma (Injuri)
(KLMNH, 1995).
Limbah Rumah Sakit mengandung bahan beracun berbahaya Rumah Sakit tidak hanya menghasilkan limbah organik dan anorganik, tetapi juga limbah infeksius yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Dari keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15 persen diantaranya merupakan limbah
infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40 persen lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan dan sisa makan, baik dari pasien dan keluarga pasien maupun dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik dalam bentuk botol bekas infus dan plastik. Temuan ini merupakan
hasil penelitian Bapedalda Jabar bekerja sama dengan Departemen
Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 sampai tahun 1999. Keterbatasan dan mengakibatkan sampel yang diambil hanya dari dua rumah sakit di Jawa Barat, satu di rumah sakit pemerintah dan satunya lagi di rumah sakit swasta. Secara terpisah, mantan Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Jabar
Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius dibeberapa rumah sakit bahkan melebihi jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah infeksius ini lebih banyak ditemukan di beberapa rumah sakit umum, yang pemeliharaan lingkungannya kurang baik (Pristiyanto. D, 2000).
Biasanya orang mengaitkan limbah B3 dengan industri. Siapa yang menyangka ternyata dirumah sakitpun menghasilkan limbah berbahaya dari limbah infeksius. Limbah infeksius berupa alat-alat kedokteran seperti perban, salep, serta suntikan bekas (tidak termasuk tabung infus), darah, dan sebagainya. Dalam penelitian itu, hampir di setiap tempat sampah ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik berupa botol bekas infus. (Anonimous, 2009)
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Kepala Pusat Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.
Dampak Limbah Pada Kesehatan Masyarakat 
Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat gangguan karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan Kedua, karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga, pengunjung / pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan akan semakin besar. Keempat, masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu lingkungan menjadi turun kualitasnya, dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang baik dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit (Kusnoputranto.H, 1993).

  1. B.     Jenis-jenis limbah
Jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian sebagai berikut ini :
-         Limbah klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staf Rumah Sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. Contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkusyang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urine dan produk darah.
-         Limbah patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diautoclaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.
-         Limbah bukan klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan menbuangnya.
-         Limbah dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan pengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staf maupun pasien di Rumah Sakit.
-         Limbah radioaktif
Walaupun limbah ini tidak  menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangan secara aman perlu diatur dengan baik. Pemberian kode warna yang berbeda untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan limbah tersebut
(Prasojo. D, 2008).
Berikut adalah tabel yang menyajikan contoh sistem kondisifikasi limbah rumah sakit dengan menggunakan warna :


JENIS LIMBAH WARNA
Bangsal/Unit
Klinik Kuning
Bukan klinik Hitam
Kamar Cuci Rumah Sakit
Kotor/Terinfeksi Merah
Habis dipakai Putih
Dari kamar operasi Hijau/Biru
Dapur
Sarung tangan dengan warna yang berbeda untuk memasak dan membersihkan badan.

Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat dilaksanakan dengan baik, tempat limbah diseluruh rumh sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan ditempat sumbernya.
  1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik
  2. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai limbah klinik
  3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang (Depkes RI, 1992).

  1. C.     Pengelolaan limbah
Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment) (Slamet Riyadi, 2000).
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :
  1. Pemisahan Limbah
-  Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
-  Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
-  Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H, 1995).
  1. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.
  1. Penanganan Limbah
-  Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas
-  Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga  jika dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat  tertentu untuk dikumpulkan
-  Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan  warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai
-  Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan.
  1. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada  kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
  1. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
(Bambang Heruhadi, 2000).
Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :
  1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter
  2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi  75 cm
  3. Tambahkan lapisan kapur
  4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan samapai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah
  5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah
(Setyo Sarwanto, 2003).
Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi (nonbiodegradable), misalnya kantung plastik tidak perlu ikut ditimbun. Oleh karenanya limbah yang ditimbun dengan kapur ini dibungkus kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam.
Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU atau kontraktor swasta dan dibuang ditempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah umum. Limbah klinik, jarum, semprit tidak boleh dibuang pada tempat pembuangan samapah umum.
Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau kontaminasi badan. Semua petugas harus menggunakan pakaian pelindung yang memadai, imunisasi terhadap hepatitis B sangat dianjurkan dan catatan mengenai imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan dibagian kesehatan kerja (Moersidik. S.S, 1995).

Melihat karakteristik dan dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut diatas, maka konsep pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan rumah sakit yang perlu diterapkan. Dengan pendekatan sistem tersebut, pengelolaan lingkungan itu sendiri adalah suatu usaha untuk meningkatkan kualitas dengan menghasilkan limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat sekitar.
      Keterlibatan pemerintah yang memiliki badan yang menangani dampak lingkungan, pihak manajemen puncak rumah sakit dan lembaga kemasyarakatan merupakan kunci keberhasilan untuk melindungi masyarakat dari dampak buangan / limbah rumah sakit ini (Mentri Negara Lingkungan Hidup, 2004).



  1. D.    Kesimpulan dan Saran
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya tetapi juga mungkin dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit dari pasien ke pasien yang lain maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh kerna itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada dilingkungan rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan.
Rumah sakit sebagai institusi yang sosial ekonominya kerena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat  tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA

BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan.
Arifin.M, 2008,  Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum.
Departemen Kesehatan RI. 1992. Peraturan Proses Pembungkusan Limbah Padat.
Departement Kesehatan RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia.
Pristiyanto, Djuni. 2000. Limbah Rumah Sakit Mengandung Bahan Beracun Berbahaya.
Anonimous. 2009. Limbah. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sarwanto, Setyo. 2009. Limbah Rumah Sakit Belu Dikelolah Dengan Baik. Jakarta : UI Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep. 58/Menlh/12/1995 Tentang Baku Mutu Kegiatan Rumah Sakit.
Kusnoputranto, H. 1993. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan dalam Seminar Rumah Sakit. Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993. Mikrobiologi Kedokteran
Kusnoputranto, H. 1995. Bahan Toksik di Air dalam Toksikologi Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Prasojo, D. 2008. Produk Kreatif Dari Limbah RS Buat Anak-anak Tetapi Mengandung Maut. KARS-FKMUI.
Slamet Riyadi. 2000. Loka Karya Alternatif Ekologi Pengelolaan Sanitasi dan Sampah. Alkatiri, S. 2009. Efektivitas Hasil Pengelolan Air Limbah Rumah Sakit.  UnAir.
Moersidik, S.S. 1995, Pengelolaan Limbah Teknologi Pengelolaan Limbah Rumah Sakit dalam Sanitasi Rumah Sakit, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Depok.
Mentri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kajian Dampak Lingkungan.

Teknologi Pengolahan Limbah B3

http://ardisyah.blogspot.com/2012/03/teknologi-pengolahan-limbah-b3.html

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
  • Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
  • Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
  • Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
  • Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
  • jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
  • jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
  • pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
  • peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar

Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.
  1. Chemical Conditioning
    Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
    • menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
    • mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
    • mendestruksi organisme patogen
    • memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
    • mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
    Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
    1. Concentration thickening
      Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
    2. Treatment, stabilization, and conditioning
      Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
    3. De-watering and drying
      De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
    4. Disposal
      Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
  2. Solidification/Stabilization
    Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
    1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
    2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
    3. Precipitation
    4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
    5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
    6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
    Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
  3. Incineration
    Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

Penanganan Limbah B3

Hazardous Material Container
Hazardous Material Container
Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.



Secured Landfill
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.

Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
  1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
  2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.



Intisari Kepka Bapedal No.01 thn 1995 ttg Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR: KEP- 01/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Pasal 1
Setiap limbah B3 yang belum diketahui sifat dan karakteristiknya wajib dilakukan pengujian pada laboratorium yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1.

Pasal 2
Hasil pengujian sifat dan karakteristik limbah limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib dilaporkan kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 3
Apabila dari hasil pengujian sifat dan karakteristik limbah B3 yang dilakukan oleh laboratorium di daerah terdapat keraguan, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan menunjuk laboratorium rujukan untuk melakukan pengujian ulang.

Pasal 4
Tata cara pengujian sifat dan karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktorat Pembinaan Laboratorium Lingkungan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 5
Tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.

Pasal 6
Setiap pengumpul dan penyimpan limbah B3 wajib melaporkan limbah B3 yang diterimanya dari penghasil kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan tembusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-01 /Bapedal/09/1995 Tanggal 5 September/1995

TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PENDAHULUAN

Penyimpanan limbah B3 harus dilakukan jika limbah B3 tersebut belum dapat diolah dengan segera. Kegiatan penyimpanan limbah B3 dimaksudkan untuk mencegah terlepasnya limbah B3 ke lingkungan sehingga potensi bahaya terhadap manusia dan lingkungan dapat dihindarkan. Untuk meningkatkan pengamanannya, maka sebelum dilakukan penyimpanan limbah B3 harus terlebih dahulu dikemas. Mengingat keragaman karakteristik limbah B3, maka dalam pengemasannya perlu pula diatur tata cara yang tepat sehingga limbah dapat disimpan dengan aman.
1. PERSYARATAN PENGEMASAN
Ketentuan dalam bagian ini berlaku bagi kegiatan pengemasan/ pewadahan limbah B3 di fasilitas:
a. Penghasil, untuk disimpan sementara di dalam lokasi penghasil;
b. Penghasil, untuk disimpan sementara di luar lokasi penghasil tetapi tidak sebagai pengumpul
c. Pengumpul, untuk disimpan sebelum dikirim ke pengolah;
d. Pengolah, sebelum dilakukan pengolahan dan atau penimbunan.


1.1 Persyaratan pra pengemasan, persyaratan umum kemasan dan prinsip pengemasan limbah B3
Persyaratan pra pengemasan
1). Setiap penghasil/pengumpul limbah B3 harus dengan pasti mengetahui karakteristik bahaya dari setiap limbah B3 yang dihasilkan/ dikumpulkannya. Apabila ada keragu-raguan dengan karakteristik limbah B3 yang dihasilkan/dikumpulkannya, maka terhadap limbah B3 tersebut harus dilakukan pengujian karakteristik di laboratorium yang telah mendapat persetujuan Bapedal dengan prosedur dan metode pengujian yang ditetapkan oleh Bapedal.
2). Bagi penghasil yang menghasilkan limbah B3 yang sama secara terus menerus, maka pengujian karakteristik masing-masing limbah B3 dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu kali. Apabila dalam perkembangannya terjadi perubahan kegiatan yang diperkirakan mengakibatkan berubahnya karakteristik limbah B3 yang dihasilkan, maka terhadap masing-masing limbah B3 hasil kegiatan perubahan tersebut harus dilakukan pengujian kembali terhadap karakteristiknya.
3). Bentuk kemasan dan bahan kemasan dipilih berdasarkan kecocokannya terhadap jenis dan karakteristik limbah yang akan dikemasnya..

Persyaratan umum kemasan
1). Kemasan untuk limbah B3 harus dalam kondisi baik, tidak rusak, dan bebas dari pengkaratan serta kebocoran.
2). Bentuk, ukuran dan bahan kemasan limbah B3 disesuaikan dengan karakteristik limbah B3 yang akan dikemasnya dengan mempertimbangkan segi keamanan dan kemudahan dalam penanganannya.
Gambar 1. Kemasan untuk penyimpanan limbah B3, a. kemasan drum penyimpan limbah B3 dair; b. kemasan drum untuk limbah B3 sludge atau padat.

3). Kemasan dapat terbuat dari bahan plastik (HDPE, PP atau PVC) atau bahan logam (teflon, baja karbon, SS304, SS316 atau SS440) dengan syarat bahan kemasan yang dipergunakan tersebut tidak bereaksi dengan limbah B3 yang disimpannya.

Prinsip pengemasan limbah B3
1). Limbah-limbah B3 yang tidak saling cocok, atau limbah dan bahan yang tidak saling cocok tidak boleh disimpan secara bersama-sama dalam satu kemasan;
2). Untuk mencegah resiko timbulnya bahaya selama penyimpanan, maka jumlah pengisian limbah dalam kemasan harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya pengembangan volume limbah, pembentukan gas atau terjadinya kenaikan tekanan.
3). Jika kemasan yang berisi limbah B3 sudah dalam kondisi yang tidak layak (misalnya terjadi pengkaratan, atau terjadi kerusakan permanen) atau jika mulai bocor, maka limbah B3 tersebut harus dipindahkan ke dalam kemasan lain yang memenuhi syarat sebagai kemasan bagi limbah B3.
4). Terhadap kemasan yang telah berisi limbah harus diberi penandaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan disimpan dengan memenuhi ketentuan tentang tata cara dan persyaratan bagi penyimpanan limbah B3.
5). Kemasan yang telah diisi atau terisi penuh dengan limbah B3 harus:
a). ditandai dengan simbol dan label yang sesuai dengan ketentuan mengenai penandaan pada kemasan limbah B3-1
b). selalu dalam keadaan tertutup rapat dan hanya dapat dibuka jika akan dilakukan penambahan atau pengambilan limbah dari dalamnya,
c). disimpan di tempat yang memenuhi persyaratan untuk penyimpanan limbah B3 serta mematuhi tata cara penyimpanannya.
6). Terhadap drum/tong atau bak kontainer yang telah berisi limbah B3 dan disimpan di tempat
penyimpanan harus dilakukan pemeriksaan kondisi kemasan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu satu kali.
a). apabila diketahui ada kemasan yang mengalami kerusakan (karat atau bocor), maka isi limbah B3 tersebut harus segera dipindahkan ke dalam drum/tong yang baru, sesuai dengan ketentuan butir 1 di atas.
b). apabila terdapat ceceran atau bocoran limbah, maka tumpahan limbah tersebut harus segera diangkat dan dibersihkan, kemudian disimpan dalam kemasan limbah B3 terpisah.
7). Kemasan bekas mengemas limbah B3 dapat digunakan kembali untuk mengemas limbah B3
dengan karakteristik :
a). sama dengan limbah B3 sebelumnya, atau
b). saling cocok dengan limbah B3 yang dikemas sebelumnya.
Jika akan digunakan untuk mengemas limbah B3 yang tidak saling cocok, maka kemasan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai kemasan limbah B3 dengan memenuhi ketentuan butir 1) di atas.

9). Kemasan yang telah dikosongkan apabila akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3
lain dengan karakteristik yang sama, harus disimpan di tempat penyimpanan limbah B3. Jika akan digunakan untuk menyimpan limbah B3 dengan karakteristik yang tidak saling sesuai dengan sebelumnya, maka kemasan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu dan disimpan dengan memasang "label KOSONG" sesuai dengan ketentuan penandaan kemasan limbah B3.

10). Kemasan yang telah rosak (bocor atau berkarat) dan kemasan yang tidak digunakan kembali sebagai kemasan limbah B3 harus diperlakukan sebagai limbah B3.

Persyaratan pewadahan limbah B3 dalam Tangki
1). Sebelum melakukan pemasangan tangki penyimpanan limbah B3, pemilik atau operator harus
mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kepala Bapedal dengan melampirkan laporan hasil evaluasi terhadap rancang bangun dari sistem tangki yang akan dipasang untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Laporan tersebut sekurang-kurangnya meliputi:
a). rancang bangun dan peralatan penunjang sistem tangki yang akan dipasang;
b). karakteristik limbah B3 yang akan disimpan;
c). jika sistem tangki dan atau peralatan penunjangnya terbuat dari logam dan kemungkinan dapat terkontak dengan air dan atau tanah, maka evaluasi harus mencakup pengukuran potensi korosi yang disebabkan oleh faktor lingkungan serta daya tahan bahan tangki terhadap faktor korosi tersebut;
d). perhitungan umur operasional tangki;
e). rencana penutupan sistem tangki setelah masa operasionalnya berakhir;
f). jika tangki dirancang untuk dibangun di dalam tanah, maka harus dengan memperhitungkan dampak kegiatan di atasnya serta menerapkan rancang bangun atau kegiatan yang dapat melindungi sistem tangki terhadap potensi kerusakan.

2). Selama masa konstruksi berlangsung, maka pemilik/operator harus memastikan agar selama
pemasangan tangki dan sistem penunjangnya telah diterapkan prosedur penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan selama tahap konstruksi. Pondasi, rangka penunjang, keliman, sambungan, dan kontrol tekanan (jika ada) dirancang memenuhi persyaratan keamanan lingkungan. Sistem tangki harus ditunjang kekuatan rangka yang memadai, terbuat dari bahan yang cocok dengan karakteristik limbah yang akan disimpan atau diolah, dan aman terhadap korosi sehingga tangki tidak mudah rusak.
3). Terhadap tangki penyimpanan limbah B3 yang telah terpasang dan atau telah dioperasikan
sebelum keputusan ini ditetapkan, atau terhadap tangki penyimpan bahan yang menurut peraturan yang berlaku merupakan limbah B3, maka pemilik/operator diharuskan untuk mengajukan rekomendasi pengoperasian tangki dengan melampirkan laporan hasil evaluasi sesuai dengan butir 1) di atas.
4). Dalam pengoperasian tangki sebagai tempat pengemasan/pewadahan limbah B3, maka :
a). tangki dan sistem penunjangnya harus terbuat dari bahan yang saling cocok dengan karakteristik dan jenis limbah B3 yang dikemas/ disimpannya.
b). limbah-limbah yang tidak saling cocok tidak ditempatkan secara bersama-sama di dalam tangki. Apabila tangki akan digunakan untuk menyimpan limbah yang tidak saling cocok dengan karakteristik limbah sebelumnya, maka tangki harus terlebih dahulu dicuci bersih;
c). tidak digunakan untuk menyimpan limbah mudah menyala atau reaktif kecuali:
1 . limbah tersebut telah diolah atau dicampur terlebih dahulu sebelum/segera
setelah ditempatkan di dalam tangki, sehingga olahan atau campuran limbah yang terbentuk tidak lagi berkarakteristik mudah menyala atau reaktif; atau
2. limbah disimpan atau diolah dengan suatu cara sehingga tercegah dari kondisi atau bahan yang menyebabkan munculnya sifat mudah menyala atau reaktif.

5). Untuk mencegah terlepasnya limbah B3 ke lingkungan, tangki wajib dilengkapi dengan penampungan sekunder. Penampungan sekunder dapat berupa satu atau lebih dari ketentuan berikut:
a. pelapisan (di bagian luar tangki),
b. tanggul (vault; berm) dan atau tangki berdinding ganda,
dengan ketentuan bahwa penampungan sekunder tersebut harus:
a). dibuat atau dilapisi dengan bahan yang saling cocok dengan limbah B3 yang disimpan serta memiliki ketebalan dan kekuatan memadai untuk mencegah kerusakan akibat pengaruh tekanan;
b). ditempatkan pada pondasi atau dasar yang dapat mendukung ketahanan tangki terhadap tekanan dari atas dan bawah dan mampu mencegah kerusakan yang diakibatkan karena pengisian, tekanan atau uplift,

c). dilengkapi dengan sistem deteksi kebocoran yang dirancang dan dioperasikan 24 jam sehingga mampu mendeteksi kerusakan pada struktur tangki primer data sekunder, atau lepasnya limbah B3 dari sistem penampungan sekunder.
d). Penampungan sekunder, dirancang untuk dapat menampung dan mengangkat cairan¬cairan yang berasal dari kebocoran, ceceran atau presipitasi.

6). Pemilik atau operator harus melakukan pemeriksaan sekurangkurangnya 1 (satu) kali sehari
selama sistem tangki dioperasikan. Pemeriksaan dilakukan terhadap:
a). peralatan pengendalian luapan/tumpahan;
b). mendeteksi korosi atau lepasnya limbah dari tangki;
c). pengumpulan data untuk memastikan bahwa sistem tangki berfungsi sesuai dengan rancarig bangunnya; dan
d). bahan-bahan konstruksi dan areal seputar sistem tangki termasuk struktur pengumpul sekunder (misalnya tembok isolasi tumpahan) untuk mendeteksi pengikisan atau tanda¬tanda terlepasnya limbah B3 (misalnya bintik lembab, kematian vegetasi);

7).Pemilik atau operator harus memeriksa sistem perlindungan katodik (jika ada), untuk memastikan bahwa peralatan tersebut bekerja sempurna. Pemeriksaan meliputi:
a). fungsi sistem perlindungan katodik harus dilakukan dalam 6 (enam) bulan setelah pengoperasian awal, dan selanjutnya setiap tahun sekali;
b). semua bagian yang dapat mempengaruhi sistem perlindungan (a) harus diperiksa sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sekali.

Pemilik atau operator harus menyimpan catatan hasil pemeriksaan kegiatan nomor 6 dan 7 tersebut.
8).Sistem tangki atau sistem pengumpul sekunder yang mengalami kebocoran atau gangguan yang
menyebabkan limbah B3 yang disimpannya terlepas, maka pemilik atau operator harus segera melakukan:
a). penghentian operasional sistem tangki dan mencegah aliran limbah,
b). memindahkan limbah B3 dari sistem tangki atau sistem penampungan sekunder.
c). mewadahi limbah yang teriepas ke lingkungan, mencegah terjadinya perpindahan tumpahan ke tanah atau air permukaan, serta mengangkat tumpahan yang terlanjur masuk ke tanah atau air permukaan.
d). membuat catatan dan laporan mengenai kecelakaan dan penanggulangan yang telah dilakukan.

3. PERSYARATAN PENYIMPANAN LIMBAH B3
Ketentuan dalam bagian ini berlaku bagi penghasil limbah B3 yang melakukan kegiatan penyimpanan sementara yang dilakukan di dalam lokasi pabrik/fasilitas.

3.1. Tata cara Penyimpanan limbah B3
a. Penyimpanan kemasan limbah B3
1). Penyimpanan kemasan harus dibuat dengan sistem blok. Setiap blok terdiri atas 2 (dua) x 2 (dua) kemasan (gambar 2), sehingga dapat dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan sehingga jika terdapat kerusakan kecelakaan dapat segera ditangani.
2). Lebar gang antar blok harus memenuhi persyaratan peruntukkannya. Lebar gang untuk lalu¬lintas manusia minimal 60 cm dan lebar gang untuk lalu-lintas kendaraan pengangkut (forklift) disesuaikan dengan kelayakan pengoperasiannya.

Gambar 2. la peyimpanan kemasan drum di atas palet dengan jarak minimum antar blok.

3). Penumpukan kemasan limbah B3 harus mempertimbangkan kestabilan tumpukan kemasan. Jika kemasan berupa drum logam (isi 200 liter), maka tumpukan maksimum adalah 3 (tiga) lapis dengan tiap lapis dialasi palet (setiap palet mengalasi 4 drum). Jika tumpukan lebih dari 3 (tiga) lapis atau kemasan terbuat dari plastik, maka harus dipergunakan rak. (gambar 3).


4). Jarak tumpukan kemasan tertinggi dan jarak blok kemasan terluar terhadap atap dan dinding bangunan penyimpanan tidak boleh kurang dari 1 (satu) meter.

5). Kemasan-kemasan berisi limbah B3 yang tidak saling cocok harus disimpan secara terpisah,
tidak dalam satu blok, dan tidak dalam bagian penyimpanan yang sama. Penempatan kemasan harus dengan syarat bahwa tidak ada kemungkinan bagi limbah-limbah yang tersebut jika terguling/tumpah akan tercampur/masuk kedalam bak penampungan bagian penyimpanan lain.

b. Penempatan tangki
Penyimpanan limbah cair dalam jumlah besar disarankan menggunakan tangki (gambar 4) dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Disekitar tangki harus dibuat tanggul dengan dilengkapi saluran pembuangan yang menuju bak penampung.
2). Bak penampung harus kedap air dan mampu menampung cairan minimal 110 % dari kapasitas maksimum volume tangki.
3). Tangki harus diatur sedemikian rupa sehingga bila terguling akan terjadi di daerah tanggul dan tidak akan menimpa tangki lain.


Gambar 4. Tempat penyimpanan limbah B3 cair dalam jumlah besar
4). Tangki harus terlindung dari penyinaran matahari dan masuknya air hujan secara langsung.

3.2 Persyaratan Bangunan Penyimpanan limbah B3
a. Persyaratan bangunan penyimpan kemasan limbah B3.
1) Bangunan tempat penyimpanan kemasan limbah B3 harus:
a). memiliki rancang bangun dan luas ruang penyimpanan yang sesuai dengan jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan/akan disimpan;
b). terlindung dari masuknya air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung;
c). dibuat tanpa plafon dan memiliki sistem ventilasi udara yang memadai (gambar 5) untuk mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang penyimpanan, serta memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya ke dalam ruang penyimpanan;
d). memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk operasional penggudangan atau inspeksi rutin. Jika menggunakan lampu, maka lampu penerangan harus dipasang minimal 1 meter di atas kemasan dengan sakelar (stop contact) harus terpasang di sisi luar bangunan.
e). dilengkapi dengan sistem penangkal petir.
f). pada bagian luar tempat penyimpanan diberi penandaan (simbol) sesuai dengan tata cara yang berlaku.
2). Lantai bangunan penyimpanan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai bagian dalam dibuat melandai turun kearah bak penampungan dengan kemiringan maksimum 1 % pada bagian luar bangunan, kemiringan lantai diatur sedemikian rupa sehingga air hujan dapat mengalir kearah menjauhi bangunan penyimpanan.

Gambar 5. Sirkulasi udara dalam ruang penyimpanan limbah B3.

3). Tempat penyimpanan yang digunakan untuk menyimpan lebih dari 1 (satu) karakteristik limbah B3, maka ruang penyimpanan:
a). harus dirancang terdiri dari beberapa bagian penyimpanan, dengan ketentuan bahwa setiap bagian penyimpanan hanya diperuntukkan menyimpan satu karakteristik limbah B3, atau limbah-limbah B3 yang saling cocok (gambar 6).
b). antara bagian penyimpanan satu dengan lainnya harus dibuat tanggul atau tembok, pemisah untuk menghindarkan tercampurnya atau masuknya tumpahan limbah B3 ke bagian penyimpanan lainnya.
c). setiap bagian penyimpanan masing-masing harus mempunyai bak penampung tumpahan limbah dengan kapasitas yang memadai.
d). sistem dan ukuran saluran yang ada harus dibuat sebanding dengan kapasitas maksinium limbah B3 yang tersimpan sehingga cairan yang masuk ke dalamnya dapat mengalir dengan lancar ke tempat penampungan yang telah disediakan.

Gambar 6. Tata ruang gudang penyimpanan limbah B3

4). Sarana lain yang harus tersedia adalah :
a) Peralatan dan sistem pemadam kebakaran
b) Pagar pengamanan;
c) Pembangkit listrik cadangan;
d) Fasilitas pertolongan pertama;
e) Peralatan komunikasi
f) Gudang tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan;
g) Pintudarurat
h) Alarm

b. Persyaratan Khusus Bangunan Penyimpanan Limbah B3
1) Persyaratan bangunan penyimpanan limbah B3 mudah terbakar
a) Jika bangunan berdampingan dengan gudang lain maka harus dibuat tembok pemisah tahan api, berupa :
a. tembok beton bertulang, tebal minimum 15 cm; atau
b. tembok bata merah, tebal minimum 23 sm; atau
c. blok-blok (tidak berongga) tak bertulang, tebal minimum 30 cm.
b) Pintu darurat dibuat tidak pada tembok tahan api pada butir a.
c) Jika bangunan dibuat terpisah dengan bangunan lain, maka jarak minimum dengan bangunan laian adalah 20 meter.
d) Untuk kestabilan struktur tembok penahan api dianjurkan agar digunakan tiang-tiang betron bertulang yang tidak ditembusi oleh kabel listrik.

e) Struktur pendukung atap terdiri dari bahan yang tidak mudah menyala. Konstruksi atap dibuat ringan, dan mudah hancur bila ada kebakaran, sehingga asap dan panas akan mudah keluar.
f) Penerangan, jika menggunakan lampu, harus menggunakan instalsi yang tidak menyebabkan ledakan/percikan listrik (explotion proof).
g) Faktor-faktor lain yang harus dipenuhi :
1. sistem pendeteksi dan pemadam kebakaran;
2. persediaan air untuk pemadam api;
3. hidran pemadam api dan perlindungan terhadap hidran.
2). Rancang bangun untuk limbah B3 mudah meledak.
a). Konstruksi bangunan baik lantai, dinding maupun atap harus dibuat tahan ledakan dan kedap air. Konstruksi lantai dan dinding dibuat lebih kuat dari konstruksi atap, sehingga bila terjadi ledakan sangat kuat akan mengarah ke atas (tidak samping)
b). Suhu dalam ruangan harus dapat dikendalikan tetap dalam kondisi normal. Desain bangunan sedemikian rupa sehingga cahaya matahari tidak langsung masuk ke ruang gudang.
3). Rancang bangun khusus untuk penyimpan limbah B3 reaktif, korosif dan beracun
a). Konstruksi dinding harus dibuat mudah dilepas, guna memudahkan pengamanan limbah B3 dalam keadaan darurat.
b). Konstruksi atap, dinding dan lantai harus tahan terhadap korosi dan api.
4. Persyaratan bangunan untuk penempatan tangki
a). Tangki penyimpanan limbah B3 harus terletak di luar bangunan tempat penyimpanan limbah B3;
b). Bangunan penyimpan tangki merupakan konstruksi tanpa dinding yang memiliki atap pelindung dan memiliki lantai yang kedap air;
c). Tangki dan daerah, tanggul serta bak penampungnya harus terlindung dari penyinaran matahari secara langsung serta terhindar dari masuknya air hujan, baik secara langsung maupun tidak langsung-,
3.3 Persyaratan lokasi untuk tempat penyimpanan limbah B3
Lokasi bangunan tempat penyimpanan kemasan drum/tong, bangunan tempat penyimpanan bak container dan bangunan tempat penyimpanan tangki harus :
a. Merupakan daerah bebas banjir, atau daerah yang diupayakan melalui pengurugan sehingga aman dari kemungkinan terkena banjir;
b. Jarak minimum antara lokasi dengan fasilitas umum adalah 50 meter.

4. PERSYARATAN PENGUMPULAN LIMBAH B3 Ketentuan dalama bagian ini berlaku bagi :
a. penghasil lirnbah B3 yang melakukan kegiatan penyimpanan sementara yang dilakukan di luar lokasi pabrik/fasilitas, tetapi bertindak sebagai pengumpul;
b. kegiatan pengumpulan (penyimpanan) limbah B3 yang dilakukan oleh pengumpul dan atau pengolah;
c. kegiatan pengumpulan (penyimpanan) limbah B3 yang dilakukan oleh Pengolah dan atau penimbun.
4.1. Persyaratan lokasi pengumpulan
a. Luas tanah termasuk untuk bangunan penyimpanan dan fasilitas lainnya sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar;
b. Area secara geologis merupakan daerah bebas banjir tahunan;
c. Lokasi harus cukup jauh dari fasilitas umum dan ekosistem tertentu. Jarak terdekat yang diperkenankan adalah:
1). 150 meter dari jalan utama atau jalan tol, 50 meter dari jalan lainnya;
2). 300 meter dari fasilitas umum seperti:
daerah pemukiman, perdagangan, rumah sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial, hotel, restoran, fasilitas keagamaan, fasilitas pendidikan, dll.
3). 300 meter dari perairan seperti :
garis pasang tertinggi laut, badan sungai, daerah pasang surut, kolam, danau, rawa, mata air, sumur penduduk, dll.
4). 300 meter dari daerah yang dilindungi seperti:
cagar alam, hutan lindung, kawasan suaka, dll.
4.2 Persyaratan bangunan pengumpulan
a. Fasilitas pengumpulan merupakan fasilitas khusus yang harus dilengkapi dengan berbagai sarana untuk penunjang dan tata ruang yang tepat sehingga kegiatan pengumpulan dapat berlangsung dengan baik dan aman bagi lingkungan (gambar 7).
b. Setiap bangunan perigumpulan limbah B3 dirancang khusus hanya untuk menyimpan 1 (satu) karakteristik limbah, dan dilengkapi dengan bak penampung tumpahan/ceceran limbah yang dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam pengangkatannya;
c. Fasilitas pengumpulan harus dilengkapi dengan:
1). Peralatan dan sistem pemadam kebakaran;
2). Pembangkit listrik cadangan;
3). Fasilitas pertolongan pertama;
4). Peralatan komunikasi;
5). Gudang tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan;
6). Pintu darurat; dan alarni;

Gambar 7. Tata ruang fasilitas penyimpanan sementara limbah B3 di luar lokasi pabrik
penghasil atau di pengumpul dan atau di pengolah.

d. Persyaratan banguinan penyimpanan limbah B3 mudah terbakar
1). Bangunan penyimpanan limbah B3 mudah terbakar sekurang-kurangnya berjarak 20 meter dari
bangunan penyimpanan limbah karakteristik lain atau dari bangunan-bangunan lain dalam fasilitas pengumpulan-I
2). Dinding bangunari terbuat dari tembok tahan api yang dapat berupa:
a. tembok beton bertulang dengan tebal minimum 15 cm, atau
b. tembok bata merah dengan tebal minimum 25 cm, atau
c. blok-blok (padat) tak bertulang dengan tebal minimum 30 cm
3). Rangka pendukung atap terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar. Atap tanpa plafon,
terbuat dari bahan yang ringan dan mudah hancur jika terbakar, sehingga jika terjadi kebakaran dalam tempat pengumpulan, asap dan panas menjadi mudah untuk keluar;
4). Sistem ventilasi udara dirancang untuk mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang
pengumpulan, serta memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya ke dalam ruang pengumpulan-,
5). memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk operasional
penggudangan atau inspeksi rutin. Jika menggunakan lampu, maka lampu penerangan harus dipasang minimal 1 meter di atas kemasan dengan sakelar (stop contact) harus terpasang di sisi luar bangunan:
6). Lantai bangunan penyimpanan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai
bagian dalam dibuat melandai turun kearah bak penampungan dengan kemiringan maksimum 1 %. Pada bagian luar bangunan, kemiringan lantai diatur sedemikian rupa sehingga air hujan dapat mengalir kearah menjauhi bangunan penyimpanan;

7). Pada bagian luar bangunan harus dipasang tanda (simbol) limbah B3 mudah terbakar, sesuai
dengan peraturan penandaan yang berlaku.

e. Persyaratan bangunan penyimpanan limbah B3 mudah meledak
1). Bangunan penyimpanan harus memiliki lantai, dinding dan atap yang kuat terhadap ledakan. Konstruksi lantai dan dinding harus lebih kuat dari konstruksi atap sehingga jika terjadi ledakan yang kuat, maka ledakan akan mengarah ke atas (tidak ke samping);
2). Ruang pengumpulan dilengkapi dengan pencatat suhu dan pengatur suhu dan atau desain bangunan dirancang sedemikian rupa sehingga suhu dalam ruang pengumpulan tidak akan melampaui suhu aman/normal penyimpanan;
3). Sistem ventilasi udara dirancang untuk mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang pengumpulan, serta memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya ke dalam ruang pengumpulan;
4). memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk operasional penggudangan atau inspeksi rutin. Jika menggunakan lampu, maka lampu penerangan harus dipasang minimal 1 meter di atas kemasan dengan sakelar (stop contact) harus terpasang di sisi luar bangunan;
5). Lantai bangunan penyimpanan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai bagian dalam dibuat melandai turun kearah bak penampungan dengan kemiringan maksimum 1 %. Pada bagian luar bangunan, kemiringan lantai diatur sedemikian rupa sehingga air hujan dapat mengalir kearah menjauhi bangunan penyimpanan-I
6). Pada bagian luar bangunan harus dipasang tanda (simbol) limbah B3 mudah meledak, sesuai dengan peraturan penandaan yang berlaku.

f. Persyaratan bangunan penyimpanan limbah B3 bersifat korosif atau reaktif atau beracun
1). Konstruksi dinding harus dibuat mudah untuk dilepas sehingga penanganan limbah dalam keadaan darurat lebih mudah untuk dilakukan;
2). Untuk bangunan pengumpulan limbah korosif dan reaktif, maka konstrliksi bangunan (atap, lantai dan dinding) harus terbuat dari bahan yang tahan korosi dan api/panas;
3). Sistem ventilasi udara dirancang untuk mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang pengumpulan, serta memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya ke dalam ruang pengumpulan;
4). memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk operasional penggudangan atau inspeksi rutin. Jika menggunakan larnpu, maka lampu penerangan harus dipasang minimum 1 meter di atas kemasan dengan sakelar (stop contact) harus terpasang di sisi luar bangunan-,
5). Lantai bangunan pengunipulan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai bagian dalam dibuat melandai turun kearah bak penampungan dengan kemiringan maksimum 1
%. Pada bagian luar bangunan, kemiringan lantai diatur sedemikian rupa sehingga air hujan dapat mengalir ke arah menjauhi bangunan penyimpanan;
6) Pada bagian luar bangunan harus dipasang tanda simbol limbah B3 sesuai dengan peraturan penandaan yang berlaku.

4.3 Fasilitas tambahan
a. Laboratorium
Laboratorium yang tersedia harus mampu:
1). melakukan pengujian jenis dan karakteristik dari limbah B3 yang diterima, sehingga penanganan lebih lanjut seperti pencampuran, pengemasan ulang atau pengolahan awal (pre treatment) dapat dilakukan dengan tepat;
2). melakukan pengujian kualitas terhadap timbulan dari kegiatan pengelolaan limbah yang dilakukan (misalnya cairan dari fasilitas pencucian atau dari kolam penampung darurat) sehingga dapat penanganan sebelum dibuang ke lingkungan dapat ditetapkan.

b. Fasilitas pencucian
1). Setiap pencucian peralatan atau perlengkapan yang digunakan dalam kegiatan pengumpulan limbah B3 harus dilakukan di dalam fasilitas pencucian. Fasilitas tersebut harus dilengkapi bak penampung dengan kapaistas yang memadai dan harus kedap air;
2). Sebelum dapat dibuang ke lingkungan, maka terhadap cairan dalam bak penampung tersebut harus dilakukan analisis laboratorium guna memperoleh kepastian pemenuhan terhadap baku mutu. Cairan dari bak penampung dapat dibuang ke lingkungan sepanjang beban maksimum tidak dilampauinya;
3). Setiap kendaraan pengangkut yang akan meninggalkan lokasi pengumpulan harus dibersihkan/dicuci terlebih dahulu, terutama pada bagian-bagian yang diduga kuat terkontaminasi limbah B3 (misalnya bak kendaraan pengangkut, roda, dll.)

c. Fasilitas untuk bongkar-muat
1). Fasilitas bongkar-muat harus dirancang sehingga memudahkan kegiatari pemindahan limbah dari dan ke kendaraan pengangkut-,
2). Lantai untuk kegiatan bongkar-muat harus kuat dan kedap air serta dilengkapi dengan saluran pembuangan menuju bak penampung untuk menjamin tidak ada tumpahan atau ceceran limbah B3 yang lepas ke lingkungan.

d. Kolam Penampungan darurat
1). Kolam penampung darurat dimaksudkan untuk menampung cairan atau bahan yang terkontaminasi oleh limbah B3 dalam jumlah besar (misalnya cairan dari bekas pemakaian bahan pemadam kebakaran, dil);
2). Kolam penampung darurat harus dirancang kedap air dan mampu menampung cairan/bahanyang terkontaminasi dalam jumlah memadai;

e. Peralatan penanganan tumpahan
1. Pemilik atau operator harus memiliki dan mengoperasikan alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan dan membersihkan ceceran atau tumpahan limbah B3;
2. Bekas alat atau bahan pembersih tersebut, jika tidak dapat digunakan kembali harus diperlakukan sebagai limbah B3.

4.4 Tata cara penyimpanan/pengumpulan
1). Tata cara pengemasan dan tata cara pengumpulan/penyimpanan limbah untuk kemasan drum dan atau tong dan atau bak Container mengacu pada ketentuan 2.2. a dan 3. 1. a di atas;
2). Tata cara pewadahan dan tata cara penempatan tangki limbah B3 di fasilitas pengumpul dan atau pengolah mengacu pada ketentuan 2.2.b dan 3.l.b di atas.

 http://wishnuap.blogspot.com/2011/06/intisari-kepka-bapedal-no01-thn-1995.html


Gambar :














Tidak ada komentar:

Posting Komentar